Sabtu, 14 November 2015

Kerusakan Mangrove Di Pantai Utara Jawa Timur

Seven Billion Dreams. One Planet. Consume with Care“. Tujuh miliar manusia dengan berbagai keinginannya, menghuni satu bumi. Bumi yang menjadi satu-satunya planet yang bisa dihuni oleh manusia. Dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi yang terus berlangsung, membuat ekosistem bumi mendekati titik kritis. Laporan Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam PHPA-AWB (1987), hutan mangrove Indonesia diperkirakan tinggal sekitar 3.235 juta hektar, sedangkan menurut W.Giesen (1993) hutan mangrove Indonesia tinggal 2.490.185 Ha. Hutan mangrove di pesisir Jawa Timur rusak, Sekitar tujuh ribu hektare rusak parah, 128 ribu hektare rusak sedang, dan hanya 12 ribu hektare dalam kondisi baik. (Data Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur, 2010). Sejumlah kawasan hutan mangrove berubah menjadi pemukiman, industri dan tambak. Akibatnya luas hutan mengrove Jawa Timur terus menyusut. Penyusutan ini dikhawatirkan berdampak pada perekonomian masyarakat pesisir. Di antaranya, hasil tangkapan nelayan, intrusi air laut ke daratan, dan ancaman abrasi. Kegiatan ekstensifikasi tambak untuk meningkatkan produksi perikanan (budidaya) secara berlebihan telah mengakibatkan degradasi fisik habitat pesisir khususnya hutan mangrove. Degradasi ekosistem mangrove tersebut, selain diakibatkan oleh pembukaan tambak, juga disebabkan oleh berbagai aktivitas lainnya seperti pemukiman, industri dan penebangan hutan untuk kebutuhan bahan bakar dan bangunan.
Paling tidak ada dua faktor penting yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir Jawa Timur. Faktor yang pertama adalah, pesatnya pembangunan industri di daratan tepi dan lepas pantai. Pertumbuhan industri di daerah Pantura Jawa Timur di tengarahi sebagai pihak yang paling besar berkontribusi dalam pencemaran lingkungan kelautan. Untuk satu dekade terakhir ini kondisi lingkungan laut di kawasan pantai dari Surabaya hingga ke wilayah perbatasan Jawa Tengah dampak kerusakannya sudah sangat terasa sekali karena berpengaruh langsung terhadap penurunan hasil tangkapan para nelayan, utamanya yang masih mengandalkan alat tangkap tradisional. Perkembangan industri manufaktur memang diakui telah mampu menjawab persoalan kesejahteraan dan kesenjangan sosial, tetapi buah akibatnya ternyata harus dibayar amat mahal karena berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Akselerasi pertumbuhan industri di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat tempat wisata tepi pantai di Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sendimen laut dan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang.
Faktor lain yang juga merisaukan bagi usaha menjaga kelestarian ekosistem laut dan kawasan pesisir Pantai utara jawa timur yaitu meningkatnya populasi penduduk yang semakin pesat. Terbukanya peluang dan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh industri di kawasan pesisir menghadirkan tenaga kerja dari berbagai daerah, dan dari berbagai lapisan masyarakat dengan bermacam-macam kualifikasi. Di samping berdampak pada masalah krisis lingkungan kehadiran industri juga akan melahirkan problem mobilitas penduduk dan kelangkaan pekerjaan, terutama bagi penduduk yang miskin akses.
Permasalahan yang ada adalah kerusakan ekosistem Mangrove di pantai utara Jawa Timur yang mengakibatkan menurunnya kualitas Lingkungan Ekologi dan menurunnya perekonomian masyarakat pesisir di lingkungan tersebut. Di antaranya, menurunnya hasil tangkapan nelayan, intrusi air laut ke daratan, dan ancaman abrasi. Dari masalah tersebut Pemerintah perlu mengkaji bagaimana menanggulangi kerusakan mangrove di pantai utara Jawa Timur tersebut?, dan segera melakukan tindakan nyata untuk memperbaiki kerusakan tersebut, sehingga masyarakat pesisir / nelayan dapat sejahtera.
Hutan mangrove yang ada di Jawa Timur umumnya menempati daerah muara sungai, kawasan terbesar adalah daerah delta Brantas yang meliputi Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan sebagian Probolinggo, karena transport sedimen yang cukup besar dari Sungai yang bermuara disepanjang pantai tersebut lambat laun daerah tersebut membentuk tanah yang terus maju kelaut (tanah oloran) hal ini semakin dipercepat dengan pantai yang landai dengan ombak yang tenang. Selain di daerah tersebut terdapat di daerah sepanjang Kabupaten Gresik bersambung ke Kabupaten Lamongan dan sampai pada Kabupaten Tuban.
Dengan semakin banyaknya pusat-pusat industri yang dibangun di area tepi laut maka konsekwensi logis dari hal tersebut adalah pertumbuhan penduduk yang begitu padat. Tingkat kepadatan itu menambah beban yang amat berat bagi lingkungan karena daya dukung sumberdaya alam yang ada sangat terbatas. Sumberdaya alam yang tersedia ternyata semakin tidak seimbang dengan lajunya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Lingkungan tidak pernah berhenti dieksplorasi dengan berbagai macam cara dan argumentasi. Secara otomatis, dengan bertambahnya jumlah penduduk di kawasan pesisir pantai menuntut ketersediaan lahan yang cukup untuk kebutuhan papan dan aktivitas bisnis penunjang. Guna memenuhi kebutuhan tempat pemukiman tersebut dibuatlah kebijakan tentang konversi lahan.
Bahwa keberadaan tanaman hutan bakau berfungsi sangat penting sebagai peredam gelombang pasang dan angin badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen agar tidak mudah longsor digerus gelombang laut. Menipisnya jumlah mangrove akan berdampak pada rentannya kawasan pesisir pantai dari ancama bencana dari arah laut. Maka solusi utama dari keadaan ekosistem mangrove yang sudah rusak di Pantura Jawa Timur adalah dengan Penanaman kembali lahan yang bisa ditanami dengan mangrove jenis yang dimungkinkan tumbuh dilokasi tersebut. Karena dengan upaya penanaman kembali ini paling tidak dapat memberikan investasi perbaikan ekologi kepada anak cucu kita nantinya sebagai penerus bangsa yang membutuhkan pelayanan / servis dari alam dengan baik. Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan  hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat  antara lain terbukanya peluang kerja  sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
Dalam hal kebutuhan lahan untuk penanaman mangrove juga dimungkinkan untuk dilakukan pembebasan lahan untuk pemenuhan kondisi ideal dari kondisi ekosistem Mangrove yang ada di Jawa Timur saat ini. Akan tetapi solusi ini akan mendapatkan halangan yang besar, karena akan langsung berhubungan dengan pemilik lahan dan pihak pihak yang berkepentingan akan lahan tersebut. Seperti halnya dilaksanakan penukaran lahan yang sudah dijadikan tambak oleh petani untuk dijadikan lahan penanaman mangrove, dan lahan itu yang merupakan lahan yang dianggap vital untuk pelaksanaan penanaman mangrove.
Pada tahun 1970an kawasan Pantai utara Jawa Timur merupakan belantara mangrove yang menyimpan keanekaragaman hayati tinggi, hal ini terbukti dengan digunakannya daerah ini sebagai daerah persinggahan burung pengembara (migran) yang berasal dari benua eropa menuju Australia, tempat tinggal dari puluhan jenis burung air diantaranya kuntul (Egretta alba), Bangau Tongtong (Leptoptilos javanicus), Belibis kembang (Dendrocygna arquata), Pecuk ular (Anhinga melanogaster), dan jenis burung air lainnya (Balai Besar KSDA Jawa Timur, 2014). Pada tempat tempat tertentu di Pantura Jawa Timur dengan kondisi hutan mangrove yang masih dalam keadaan baik tentunya wilayah pantai tempat tersebut memiliki nilai estetika yang dapat dijadikan daya tarik tersendiri dan dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya. Sekarang dengan semakin bertambah banyaknya jumlah manusia di Jawa Timur keberadaan mangrove yang masih alami akan menjadi primadona tempat kunjungan dalam melepaskan penat setelah bekerja sebagai wahana rekreasi.
Penyebab kerusakan alam adalah dikarenakan ulah manusia dengan berbagai kebutuhan dan kekhilafannya dalam berfikir untuk upaya pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu pembangunan pola fikir masyarakat yang berwawasan Lingkungan yang berkelanjutan perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, komunikasi konservasi mangrove, maupun dalam pelaksanaan dakwah lintas agama mengingat akan pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup ini. Jalan keluar ini merupakan jalan keluar jangka panjang, mengingat perubahan pola fikir manusia membutuh proses yang cukup panjang. Dengan pendidikan, dan pendekatan religi dimungkinkan akan memberikan dampak yang cukup signifikan pada upaya pelestarian Mangrove di Pantura Jawa Timur, mengingat kondisi masyarakat Pantura identik dengan masyarakat yang kental akan nuansa religinya, dan tergolong masyarakat yang fanatic dengan budaya keagamaan yang mereka anut. Dan keyakinan semua agama tidak ada yang mendukung akan perusakan lingkungan, termasuk Mangrove didalamnya.
Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk memperbaharui (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya, kawasan pantai dan hutan mangrove menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung lebih menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat/keuntungan ekonomis diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan/ekologis yang ditimbulkannya. Begitu pula sebaliknya, bila semakin sedikit manfaat/keuntungan ekonomisnya, semakin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu ijin usaha dan lainnya yang dapat mengakibatkan kerusakan Mangrove harus memperhatikan aspek konservasi, dan pemerintah juga harus tegas dalam hal pemberian ijin usaha tersebut.
Adanya perubahan sosial pada masyarakat nelayan yang sebagian besar bersentuhan langsung dengan Ekosistem Mangrove dalam teknologi modern yang tidak ramah lingkungan mulai mengikis nilai nilai dan norma yang sudah lama berkembang di masyarakat sehingga lambat laun kearifan lokal masyarakat akan hilang karena penggunaan teknologi modern dalam  pengelolaan sumber daya pesisir dan laut memberikan keuntungan secara ekonomis dalam jangka waktu yang relative cepat tetapi menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu yang sangat lama. Dengan kekhawatiran itu, perlu menjaga tradisi atau budaya budaya yang ada pad masyarakat, maupun kelompok kelompok kecil dan penguatan kelembagaan dirasa perlu untuk pengawasan Sumberdaya pesisir dan laut yang ada. Penguatan kelembagaan yang dimaksud adalah dengan transfer pengetahuan akan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ada, sehingga akan jauh dari kepunahan.
Masyarakat yang hidup di sekitar hutan mangrove yang telah terdegradasi mengalami kemunduran tingkat ekonomi dan kesejahteraannya. Degradasi hutan mangrove dan rusaknya lingkungan kawasan pantai mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan berkurangnya pendapatan para nelayan kecil di desa-desa pantai. Untuk memperbaiki sumberdaya hutan mangrove diperlukan peran serta masyarakat sekitar, karena dengan sejahteranya masyarakat sekitar ekosistem mangrove maka akan semakin meningkat partisipasi masyarakat itu dalam keikut sertaan melestarikan ekosistem mangrove, minimal dengan tidak merusak ekosistem mangrove tersebut untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan ekonominya.
Dan dalam prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dibutuhkan keterpaduan multi sector untuk tujuan pelestarian ekosistem pesisir dan laut, termasuk ekosistem mangrove didalamnya. Dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan  yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain  itu juga bahwa konsep-konsep lokal  (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung pelestarian Mangrove. Dan dalam pelaksanaan pengelolaan mangrove secara terpadu dapat mengacu kepada pengertian dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu  pengelolaan yang mengintegrasikan kegiatan : antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; antar Pemerintah Daerah; antarsektor; antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan antara ilmu pengetahuan dan prinsip prinsip manajemen.
Dari beberapa gagasan dan pemikiran diatas perlu merekomendasikan hal hal untuk perbaikan Hutan Mangrove yang rusak dan kemudian menjaganya untuk mencapai Hutan Mangrove yang Lestari, ekologi yang seimbang dan masyarakat yang sejahtera dengan servis alam pada masyarakat tersebut. Hal hal tersebut  antara lain :
1)      Penanaman kembali Hutan Mangrove yang telah rusak dan adanya upaya menjaga Mangrove yang masih dalam kondisi baik, karena menanam lebih sulit dari menjaga dan merawat yang masih ada,
2)      Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir untuk kepentingan ekologi,
3)      Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat dengan berbagai potensi pendukung pada masyarakat tersebut, termasuk melalui dakwah keagamaan untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4)      Aspek konservasi Sumberdaya alam dikedepankan ketika memberikan ijin usaha dan lainnya.
5)      Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi Mangrove pada masyarakat dan kelompok masyarakat serta stakeholders,
6)      Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir sebagai bagian daya dukung kelestarian ekosistem Mangrove,
7)      Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan melibatkan masyarakat  masyarakat,  mulai dari perencanaan, pengorganisasian / kelembagaan, pelaksanaan sampai pada monitoring dan evaluasi bersama.

Ditulis oleh : Mukti Ali 
                    ( Lingkar Studi Lingkungan dan Masyarakat )