“Seven Billion Dreams. One Planet. Consume with Care“.
Tujuh miliar manusia dengan berbagai keinginannya, menghuni satu bumi. Bumi
yang menjadi satu-satunya planet yang bisa dihuni oleh manusia. Dengan
pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi yang terus berlangsung, membuat
ekosistem bumi mendekati titik kritis. Laporan Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam PHPA-AWB (1987), hutan mangrove Indonesia diperkirakan
tinggal sekitar 3.235 juta hektar, sedangkan menurut W.Giesen (1993) hutan
mangrove Indonesia tinggal 2.490.185 Ha. Hutan mangrove di pesisir Jawa Timur
rusak, Sekitar tujuh ribu hektare rusak parah, 128 ribu hektare rusak sedang,
dan hanya 12 ribu hektare dalam kondisi baik. (Data Dinas Kehutanan Propinsi
Jawa Timur, 2010). Sejumlah kawasan hutan mangrove berubah menjadi pemukiman,
industri dan tambak. Akibatnya luas hutan mengrove Jawa Timur terus menyusut.
Penyusutan ini dikhawatirkan berdampak pada perekonomian masyarakat pesisir. Di
antaranya, hasil tangkapan nelayan, intrusi air laut ke daratan, dan ancaman
abrasi. Kegiatan ekstensifikasi tambak untuk meningkatkan produksi perikanan
(budidaya) secara berlebihan telah mengakibatkan degradasi fisik habitat
pesisir khususnya hutan mangrove. Degradasi ekosistem mangrove tersebut, selain
diakibatkan oleh pembukaan tambak, juga disebabkan oleh berbagai aktivitas
lainnya seperti pemukiman, industri dan penebangan hutan untuk kebutuhan bahan
bakar dan bangunan.
Paling tidak ada dua faktor penting yang berkaitan dengan kerusakan
lingkungan di kawasan pesisir Jawa Timur. Faktor yang pertama adalah, pesatnya
pembangunan industri di daratan tepi dan lepas pantai. Pertumbuhan industri di
daerah Pantura Jawa Timur di tengarahi sebagai pihak yang paling besar
berkontribusi dalam pencemaran lingkungan kelautan. Untuk satu dekade terakhir
ini kondisi lingkungan laut di kawasan pantai dari Surabaya hingga ke wilayah
perbatasan Jawa Tengah dampak kerusakannya sudah sangat terasa sekali karena
berpengaruh langsung terhadap penurunan hasil tangkapan para nelayan, utamanya
yang masih mengandalkan alat tangkap tradisional. Perkembangan industri
manufaktur memang diakui telah mampu menjawab persoalan kesejahteraan dan
kesenjangan sosial, tetapi buah akibatnya ternyata harus dibayar amat mahal
karena berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Akselerasi
pertumbuhan industri di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah
mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula pembangunan
pelabuhan industri terpadu, dan tempat tempat wisata tepi pantai di Kabupaten
Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan yang
mengakibatkan, pendangkalan sungai, sendimen laut dan semakin rusaknya
ekosistem terumbu karang.
Faktor lain yang juga merisaukan bagi usaha menjaga kelestarian
ekosistem laut dan kawasan pesisir Pantai utara jawa timur yaitu meningkatnya
populasi penduduk yang semakin pesat. Terbukanya peluang dan kesempatan kerja
yang ditawarkan oleh industri di kawasan pesisir menghadirkan tenaga kerja dari
berbagai daerah, dan dari berbagai lapisan masyarakat dengan bermacam-macam
kualifikasi. Di samping berdampak pada masalah krisis lingkungan kehadiran
industri juga akan melahirkan problem mobilitas penduduk dan kelangkaan
pekerjaan, terutama bagi penduduk yang miskin akses.
Permasalahan yang ada adalah kerusakan
ekosistem Mangrove di pantai utara Jawa Timur yang mengakibatkan menurunnya
kualitas Lingkungan Ekologi dan menurunnya perekonomian masyarakat pesisir di
lingkungan tersebut. Di antaranya, menurunnya hasil tangkapan nelayan, intrusi
air laut ke daratan, dan ancaman abrasi. Dari masalah tersebut Pemerintah perlu
mengkaji bagaimana menanggulangi kerusakan mangrove di pantai utara Jawa Timur
tersebut?, dan segera melakukan tindakan nyata untuk memperbaiki kerusakan
tersebut, sehingga masyarakat pesisir / nelayan dapat sejahtera.
Hutan mangrove yang ada di Jawa Timur
umumnya menempati daerah muara sungai, kawasan terbesar adalah daerah delta
Brantas yang meliputi Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan sebagian
Probolinggo, karena transport sedimen yang cukup besar dari Sungai yang
bermuara disepanjang pantai tersebut lambat laun daerah tersebut membentuk
tanah yang terus maju kelaut (tanah oloran) hal ini semakin dipercepat dengan
pantai yang landai dengan ombak yang tenang. Selain di daerah tersebut terdapat
di daerah sepanjang Kabupaten Gresik bersambung ke Kabupaten Lamongan dan
sampai pada Kabupaten Tuban.
Dengan
semakin banyaknya pusat-pusat industri yang dibangun di area tepi laut maka
konsekwensi logis dari hal tersebut adalah
pertumbuhan penduduk yang begitu padat. Tingkat kepadatan itu menambah beban
yang amat berat bagi lingkungan karena daya dukung sumberdaya alam yang ada
sangat terbatas. Sumberdaya alam yang tersedia ternyata semakin tidak seimbang
dengan lajunya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Lingkungan tidak
pernah berhenti dieksplorasi dengan berbagai macam cara dan argumentasi. Secara
otomatis, dengan bertambahnya jumlah penduduk di kawasan pesisir pantai
menuntut ketersediaan lahan yang cukup untuk kebutuhan papan dan aktivitas
bisnis penunjang. Guna memenuhi kebutuhan tempat pemukiman tersebut dibuatlah
kebijakan tentang konversi lahan.
Bahwa keberadaan tanaman hutan bakau berfungsi sangat penting
sebagai peredam gelombang pasang dan angin badai, pelindung abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sendimen agar tidak mudah longsor digerus gelombang laut.
Menipisnya jumlah mangrove akan berdampak pada rentannya kawasan pesisir pantai
dari ancama bencana dari arah laut. Maka solusi utama dari keadaan ekosistem
mangrove yang sudah rusak di Pantura Jawa Timur adalah dengan Penanaman kembali
lahan yang bisa ditanami dengan mangrove jenis yang dimungkinkan tumbuh
dilokasi tersebut. Karena dengan upaya penanaman kembali ini paling tidak dapat
memberikan investasi perbaikan ekologi kepada anak cucu kita nantinya sebagai
penerus bangsa yang membutuhkan pelayanan / servis dari alam dengan baik.
Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat
terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan
hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada
masyarakat antara lain terbukanya peluang kerja sehingga terjadi
peningkatan pendapatan masyarakat.
Dalam hal kebutuhan lahan untuk penanaman mangrove juga dimungkinkan
untuk dilakukan pembebasan lahan untuk pemenuhan kondisi ideal dari kondisi
ekosistem Mangrove yang ada di Jawa Timur saat ini. Akan tetapi solusi ini akan
mendapatkan halangan yang besar, karena akan langsung berhubungan dengan
pemilik lahan dan pihak pihak yang berkepentingan akan lahan tersebut. Seperti
halnya dilaksanakan penukaran lahan yang sudah dijadikan tambak oleh petani untuk
dijadikan lahan penanaman mangrove, dan lahan itu yang merupakan lahan yang
dianggap vital untuk pelaksanaan penanaman mangrove.
Pada tahun 1970an kawasan Pantai utara
Jawa Timur merupakan belantara mangrove yang menyimpan keanekaragaman hayati
tinggi, hal ini terbukti dengan digunakannya daerah ini sebagai daerah
persinggahan burung pengembara (migran)
yang berasal dari benua eropa menuju Australia, tempat tinggal dari puluhan
jenis burung air diantaranya kuntul (Egretta alba), Bangau Tongtong (Leptoptilos
javanicus), Belibis kembang (Dendrocygna arquata), Pecuk ular (Anhinga
melanogaster), dan jenis burung air lainnya (Balai Besar KSDA Jawa Timur,
2014). Pada tempat tempat tertentu di Pantura Jawa Timur dengan kondisi hutan
mangrove yang masih dalam keadaan baik tentunya
wilayah pantai tempat tersebut memiliki nilai estetika yang
dapat dijadikan daya tarik tersendiri dan dapat diatur menjadi kota ekologi
sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya. Sekarang dengan
semakin bertambah banyaknya jumlah manusia di Jawa Timur keberadaan mangrove
yang masih alami akan menjadi primadona tempat kunjungan dalam melepaskan penat
setelah bekerja sebagai wahana rekreasi.
Penyebab kerusakan alam adalah dikarenakan
ulah manusia dengan berbagai kebutuhan dan kekhilafannya dalam berfikir untuk
upaya pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu pembangunan pola fikir masyarakat
yang berwawasan Lingkungan yang berkelanjutan perlu dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan, komunikasi konservasi mangrove, maupun dalam pelaksanaan dakwah
lintas agama mengingat akan pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup ini.
Jalan keluar ini merupakan jalan keluar jangka panjang, mengingat perubahan
pola fikir manusia membutuh proses yang cukup panjang. Dengan pendidikan, dan
pendekatan religi dimungkinkan akan memberikan dampak yang cukup signifikan
pada upaya pelestarian Mangrove di Pantura Jawa Timur, mengingat kondisi
masyarakat Pantura identik dengan masyarakat yang kental akan nuansa religinya,
dan tergolong masyarakat yang fanatic dengan budaya keagamaan yang mereka anut.
Dan keyakinan semua agama tidak ada yang mendukung akan perusakan lingkungan,
termasuk Mangrove didalamnya.
Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan
alamiah untuk memperbaharui (assimilative
capacity), serta kesesuaian penggunaannya, kawasan pantai dan hutan
mangrove menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan
pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung lebih
menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat/keuntungan ekonomis
diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan/ekologis yang
ditimbulkannya. Begitu pula sebaliknya, bila semakin sedikit manfaat/keuntungan
ekonomisnya, semakin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Oleh
sebab itu ijin usaha dan lainnya yang dapat mengakibatkan kerusakan Mangrove
harus memperhatikan aspek konservasi, dan pemerintah juga harus tegas dalam hal
pemberian ijin usaha tersebut.
Adanya perubahan
sosial pada masyarakat nelayan yang sebagian besar bersentuhan langsung dengan
Ekosistem Mangrove dalam teknologi modern yang tidak ramah lingkungan mulai
mengikis nilai nilai dan norma yang sudah lama berkembang di masyarakat
sehingga lambat laun kearifan lokal masyarakat akan hilang karena penggunaan
teknologi modern dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut
memberikan keuntungan secara ekonomis dalam jangka waktu yang relative cepat
tetapi menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu yang sangat lama. Dengan
kekhawatiran itu, perlu menjaga tradisi atau budaya budaya yang ada pad
masyarakat, maupun kelompok kelompok kecil dan penguatan kelembagaan dirasa
perlu untuk pengawasan Sumberdaya pesisir dan laut yang ada. Penguatan
kelembagaan yang dimaksud adalah dengan transfer pengetahuan akan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut yang ada, sehingga akan jauh dari kepunahan.
Masyarakat yang hidup di sekitar hutan
mangrove yang telah terdegradasi mengalami kemunduran tingkat ekonomi dan
kesejahteraannya. Degradasi hutan mangrove dan rusaknya lingkungan kawasan
pantai mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan berkurangnya
pendapatan para nelayan kecil di desa-desa pantai. Untuk memperbaiki sumberdaya
hutan mangrove diperlukan peran serta masyarakat sekitar, karena dengan
sejahteranya masyarakat sekitar ekosistem mangrove maka akan semakin meningkat
partisipasi masyarakat itu dalam keikut sertaan melestarikan ekosistem
mangrove, minimal dengan tidak merusak ekosistem mangrove tersebut untuk kepentingan
pemenuhan kebutuhan ekonominya.
Dan dalam prinsip pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut dibutuhkan keterpaduan multi sector untuk tujuan pelestarian
ekosistem pesisir dan laut, termasuk ekosistem mangrove didalamnya. Dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat
sangat penting dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir. Selain itu juga bahwa konsep-konsep lokal
(kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan
kembali sejauh dapat mendukung pelestarian Mangrove. Dan dalam pelaksanaan pengelolaan
mangrove secara terpadu dapat mengacu kepada pengertian dalam Pasal 6
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil, yaitu pengelolaan yang mengintegrasikan kegiatan :
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; antar Pemerintah Daerah; antarsektor;
antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; antara Ekosistem darat dan
Ekosistem laut; dan antara ilmu pengetahuan dan prinsip prinsip manajemen.
Dari beberapa gagasan dan pemikiran diatas perlu merekomendasikan hal hal
untuk perbaikan Hutan Mangrove yang rusak dan kemudian menjaganya untuk
mencapai Hutan Mangrove yang Lestari, ekologi yang seimbang dan masyarakat yang
sejahtera dengan servis alam pada masyarakat tersebut. Hal hal tersebut antara lain :
1)
Penanaman kembali Hutan Mangrove
yang telah rusak dan adanya upaya menjaga Mangrove yang masih dalam kondisi
baik, karena menanam lebih sulit dari menjaga dan merawat yang masih ada,
2)
Pengaturan kembali tata ruang
wilayah pesisir untuk kepentingan ekologi,
3)
Peningkatan motivasi dan kesadaran
masyarakat dengan berbagai potensi pendukung pada masyarakat tersebut, termasuk
melalui dakwah keagamaan untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4)
Aspek konservasi Sumberdaya alam
dikedepankan ketika memberikan ijin usaha dan lainnya.
5)
Peningkatan pengetahuan dan
penerapan kearifan local tentang konservasi Mangrove pada masyarakat dan
kelompok masyarakat serta stakeholders,
6)
Peningkatan pendapatan masyarakat
pesisir sebagai bagian daya dukung kelestarian ekosistem Mangrove,
7)
Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir
secara terpadu dan melibatkan masyarakat
masyarakat, mulai dari perencanaan, pengorganisasian / kelembagaan,
pelaksanaan sampai pada monitoring dan evaluasi bersama. Ditulis oleh : Mukti Ali
( Lingkar Studi Lingkungan dan Masyarakat )